Digitalisation for sustainable development

Digitalisation can be an innovative and transformative way to ensure that sustainable development stays sustainable.

1912 0
1912 0
English

Published by The Sun Daily, image from Harvard Business Review.

With increasing assimilation of digitalisation into our way of life as catalyst and driver of progress, it is only inevitable that it extends to sustainable development.

While digitalisation is defined as the use of digital technologies to improve systems and processes, sustainable development could be defined as “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.

Digitalisation can be an innovative and transformative way to ensure that sustainable development stays sustainable.

And digitalisation goes further than the application of software. A good example of a software in the context of sustainable development is the Sustainable Asset Valuation (SAVi) developed by the International Institute for Sustainable Development to help both the public and private sector to mobilise and steer capital towards sustainable infrastructure.

SAVi is a simulation software that combines the output of systems dynamics simulation with project financing modelling. But it is only applicable to the process of decision-making and has no decision-making ability on its own as such, unlike artificial intelligence (AI) which in many ways has driven digitalisation and, by extension, boosted sustainable development.

In addition to AI, the role of digitalisation in transforming and sustaining sustainable development can also be seen in the Internet of Things (IoT) and blockchain.

Let’s talk a bit about AI first. It is the cognitive system of the “brain” behind the physical system which is emerging to become more and more indispensable for how sustainable development is appreciated and assessed.

AI not only enables and allows for less reliance and dependency by digital and ICT systems on human oversight and management, but is also a far more accurate, precise, detailed and faster analysis on its own.

As such, unlike a software, AI is more than just a tool and goes further by taking over the role of human decision-making with its own.

AI is pivotal and critical for risk assessment and horizon scanning activities to predict and forecast breakdowns, and interpret data to anticipate occurrences of disasters and so on.

This can be seen in the specific area of disaster management. AI (machine and deep learning) embedded in remote sensing provides for the digital technology to monitor and scan for as well as determine likely outcomes of the impact of climate change on sea levels and coastlines.

AI will also improve the monitoring and detection processes and allow for collecting of real-time data so as to serve as early warning system. And finally, AI triggers and recommends just-in-time corrective action to prevent disaster from developing in relation to chemical leakages.

Secondly, on the use and applicability of IoT which simply refers to the inter-connectivity among gadgets or devices, network, signals and data. Examples of IoT would be like smart appliances such as androids, remote controls (RCs) and dashboards, some of which we would be familiar with and have become accustomed to in our daily lives.

Organisations such as the World Economic Forum (WEF) have been at the forefront in promoting IoT for sustainable development. Prominent use of IoT for sustainable development revolves around green technology and renewable energy such as in the form of solar panels, wind turbines, hydropower, geothermal and biomass.

According to the WEF also, in an analysis of more than 640 IoT deployments conducted in collaboration with IoT research firm, IoT Analytics, it was found that 84% of IoT deployments can address the UN’s 17 Sustainable Development Goals (SDGs), which include clean water and sanitation, affordable and clean energy, sustainable cities and communities, and climate action.

Energy Central has highlighted the usefulness of IoT for sustainable development such as the following:

» IoT sensors can enable real-time monitoring of power grids to pre-empt leakages and wastages; and

» IoT allows people to understand their energy consumption habits and adjust them accordingly to optimise usage.

Thirdly and lastly, when it comes to blockchain, this latest technological game changer has opened up and further broaden the horizons in sustainable development.

Blockchain or sometimes known as distributed ledger technology is about the real-time recording – with built-in digital security – of transactions chronologically and publicly. An emerging application of this technology in sustainable development can be seen in the form of “tokenisation”.

Tokenisation as in symbol or representation that derives its status from the underlying value, ie the assets refers to the digitalisation of a financial asset, where the token can be anything of acceptable value.

These tokens represent ownership of a part of the underlying sustainable infrastructure project. Thus, tokenisation can be regarded as a subset in financial technology also as deployed for sustainable development purposes.

Blockchain technology – via tokenisation – for sustainable development can spur more investments in sustainable infrastructure. In other words, it allows for wider public participation including stimulating peer-to-peer lending and co-investment.

As such, tokenisation allows for more accessibility for the financing of sustainable projects. It also allows for customisation in investment, particularly for smaller-scale projects which would correspond to and cater to personal preferences and interests.

Blockchain for sustainable development is empowering and promotes democratic participation which in turn plays a part in the overall digitalisation of society.

Perhaps a new National Digital Strategy as proposed recently by prominent economist Lee Heng Guie of the Socio-Economic Research Centre should be considered.

To conclude, digitalisation for sustainable development is an idea whose time has already come.

Jason Loh Seong Wei is Head of Social, Law and Human Rights at EMIR Research, an independent think tank focused on strategic policy recommendations based on rigorous research.

Bahasa Melayu

Diterbitkan oleh EMIR Research.

Dengan meningkatnya penerapan digitalisasi ke dalam cara hidup kita sebagai pemangkin dan pemacu kemajuan dan pembangunan, tidak dapat dielakkan jika ianya meluas ke pembangunan lestari juga.

Walaupun digitalisasi dinyatakan sebagai penggunaan teknologi digital untuk memperbaiki sistem dan proses, pembangunan lestari dapat diungkapkan sebagai “pembangunan yang memenuhi keperluan semasa tanpa menjejaskan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi keperluan mereka sendiri”, menurut Laporan Brundtland.

Digitalisasi boleh menjadi kaedah yang inovatif dan transformatif untuk memastikan bahawa pembangunan lestari kekal mampan.

Dan digitalisasi mengorak langkah lebih jauh berbanding aplikasi perisian sebagai program tertanam yang mengandungi set arahan yang digunakan untuk mengoperasikan dan melaksanakan tugas khusus pada sistem teknologi maklumat dan komunikasi (ICT) seperti komputer.

Contoh perisian yang sesuai dalam konteks pembangunan lestari adalah Sustainable Asset Valuation (SAVi) yang dikembangkan oleh International Institute for Sustainable Development (IISD) untuk membantu sektor awam dan swasta menggerakkan dan mengarahkan modal ke arah infrastruktur yang lestari.

SAVi ialah perisian simulasi yang menggabungkan output dari simulasi system dinamik dengan pemodelan pembiayaan projek. Tetapi itu hanya berlaku untuk proses pembuatan keputusan dan ianya tidak memiliki kemampuan membuat keputusan tersendiri, tidak seperti kecerdasan buatan (AI) yang dalam banyak cara mendorong digitalisasi dan, secara meluas, menggalakan pembangunan lestari.

Sebagai tambahan kepada AI, peranan digitalisasi dalam mengubah dan mengekalkan pembangunan lestari juga dapat dilihat dalam Internet of Things (IoT) dan blokrantai.

Mari kita berbincang sedikit mengenai AI terlebih dahulu. Ini adalah sistem kognitif “otak” di sebalik sistem fizikal yang muncul menjadi semakin penting bagi bagaimana pembangunan lestari dihargai dan dinilai.

AI bukan hanya membolehkan dan memungkinkan kebergantungan yang kurang oleh sistem digital dan ICT terhadap pengawasan dan pengurusan manusia, tetapi juga merupakan analisis yang jauh lebih tepat, terperinci dan lebih cepat.

Oleh itu, tidak seperti perisian, AI lebih dari sekadar alat dan melangkah lebih jauh dalam mengambil alih peranan membuat keputusan manusia dengan keputusan tersendiri.

AI sangat penting dan kritikal untuk penilaian risiko dan aktiviti pengimbasan cakrawala untuk meramalkan dan membuat unjuran tentang kerosakan sistem, dan mentafsirkan data yang ada untuk menjangkakan kejadian bencana dan sebagainya.

Ini dapat dilihat dalam bidang khusus pengurusan bencana. AI (mesin dan pembelajaran mendalam) yang disertakan dalam penginderaan jauh menyediakan teknologi digital untuk memantau dan mengimbas serta menentukan kemungkinan hasil impak dari perubahan iklim di permukaan laut dan garis pantai.

AI juga akan meningkatkan proses pemantauan dan pengesanan dan memungkinkan pengumpulan data masa nyata sehingga dapat berfungsi sebagai sistem amaran awal (early warning system/EWS). Dan akhirnya, AI mencetuskan dan mengesyorkan tindakan pembetulan tepat pada waktunya untuk mengelakkan bencana daripada berkaitan dengan kebocoran bahan kimia.

Kedua, mengenai penggunaan dan aplikasi IoT yang merujuk kepada hubungan antara alat atau peranti, rangkaian, isyarat dan data. Contoh IoT adalah seperti perkakas pintar seperti android, alat kawalan jauh (RC) dan papan pemuka, beberapa di antaranya kita sudah biasa dalam kehidupan seharian.

Organisasi seperti World Economic Forum (WEF) telah berada di barisan hadapan dalam mempromosikan IoT untuk pembangunan lestari. Penggunaan meluas IoT untuk pembangunan lestari berkisar sekitar teknologi hijau dan tenaga boleh diperbaharui seperti dalam bentuk panel suria, turbin angin, tenaga hidro, panas bumi dan biomas.

Menurut WEF juga, dalam satu analisis melibatkan lebih dari 640 penyebaran IoT yang dilakukan bersama firma penyelidikan IoT, IoT Analytics, didapati bahawa 84% penyebaran IoT yang ada dapat menangani 17 Tujuan Pembangunan Lestari (SDG) Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (PBB) yang antara lain, termasuk air bersih dan sanitasi, tenaga berpatutan dan bersih, bandar dan komuniti yang lestari, dan tindakan iklim.

Energy Central telah menekankan kegunaan IoT untuk pembangunan lestari seperti berikut:

  • Sensor IoT dapat membolehkan pemantauan masa nyata grid kuasa untuk mengelakkan kebocoran dan pembaziran; dan
  • IoT membolehkan orang memahami tabiat penggunaan tenaga mereka dan menyesuaikannya dengan betul untuk mengoptimumkan penggunaan.

Ketiga dan terakhir, dalam hal blokrantai, pengubah permainan teknologi terbaru ini telah membuka dan memperluas cakerawala dalam pembangunan lestari.

Blokrantai atau kadangkala dikenali sebagai teknologi lejar diedarkan adalah mengenai rakaman masa nyata – dengan keselamatan digital terbina dalam – transaksi secara kronologi dan terbuka. Aplikasi teknologi ini yang muncul dalam pembangunan lestari dapat dilihat dalam bentuk “tokenisasi”.

Tokenisasi seperti dalam simbol atau representasi yang memperoleh statusnya dari nilai dasar, iaitu asetnya merujuk kepada digitalisasi aset kewangan, di mana token boleh menjadi nilai yang boleh diterima seperti matawang kripto.

Token ini mewakili pemilikan sebahagian daripada projek berasaskan infrastruktur lestari. Oleh itu, tokenisasi dapat dianggap sebagai subset dalam teknologi kewangan (fintech) dan juga digunakan untuk tujuan pembangunan lestari.

Teknologi blokrantai – melalui tokenisasi – untuk pembangunan lestari dapat memangkinkan lebih banyak pelaburan dalam infrastruktur lestari. Dengan kata lain, ini memungkinkan penyertaan masyarakat yang lebih luas termasuk merangsang pinjaman dan pelaburan bersama/sebaya (peer-to-peer).

Oleh itu, tokenisasi memungkinkan lebih banyak akses untuk pembiayaan projek lestari. Ini juga memungkinkan penyesuaian dalam pelaburan, terutama untuk projek berskala kecil yang bersesuaian serta memenuhi pilihan dan minat peribadi.

Dalam analisis terakhir, blokrantai untuk pembangunan lestari memperkasakan dan mempromosikan penyertaan demokratik akar umbi dan seterusnya memainkan peranan dalam digitalisasi masyarakat secara keseluruhan.

Mungkin Strategi Digital Nasional yang baru seperti yang diusulkan baru-baru ini oleh pakar ekonomi terkemuka Lee Heng Guie dari Pusat Penyelidikan Sosio-Ekonomi harus dipertimbangkan.

Sebagai kesimpulan, digitalisasi untuk pembangunan lestari merupakan idea yang sudah tiba masanya.

Jason Loh Seong Wei merupakan Ketua Bahagian Sosial, Perundangan dan Hak Asasi di EMIR Research, sebuah badan pemikir bebas yang berfokuskan kepada pencernaan saranan-saranan dasar strategik berteraskan penyelidikan yang terperinci, konsisten dan menyeluruh.

In this article